[MAKALAH] HADITS HUKUM TENTANG HADHANAH (HAK PEMELIHARAAN ANAK)

HADITS HUKUM TENTANG HADHANAH


HADITS HUKUM TENTANG HADHANAH

A. Pendahuluan
Seseorang anak dari permulaan hidupnya sampai pada umur tertentu memerlukan orang lain untuk membantunya dalam kehidupanya, baik seperti makan minum dll. Oleh karena itu orang yang menjaganya perlu rasa kasih sayang, kesabaran, serta mempunyai keinginan agar anak itu baik di kemudian hari.
Karena anak ialah kader penerus dari ibu dan bapaknyadan termasuk unsur mutlak dalam melestarikan bangsa dan negara. Jika hendak mengadakan suatu masyarakat yang kuat dan jaya, maka harus dimulai dari waktu yang sangat dini, yaitu semenjak bayimasih didalam perut ibunya, syukur di negara RI sudah ada badan yang khusus mengurus kesehatan anak dan ibu yang dinamakan Badan Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA), Rumah Sakit Anak-Anak, dan lain-lain. Pada penjelasan diatas jadi pendorong agar bayi dan anak diperhatikan dengan sebaik-baiknya.

B. Pembahasan

1. Pengertian Pemeliharaan Anak (Al-Hadhanah)

Hadhanah diambil dari kata al-hidhnu yang artinya samping  atau merengkuh kesamping. Adapun secara syara’ hadhanah artinya pemeliharaan anak bagi orang yang berhak untuk memeliharanya. Atau, bisa juga diartikan memelihara atau menjaga orang yang tidak mampu mengurus kebutuhannya sendiri karena tidak mumayyiz  seperti anak-anak, orang dewasa tetapi gila. Pemeliharaan disini mencakup urusan makanan, pakaian, urusan tidur, membersihkan, memandikan, mencuci pakaian, dan sejenisnya.
Menurut pengertian syara’ lainnya bahwa hadhanah itu ialah pemeliharaan anak yang belum mampu berdiri sendiri mengurusi dirinya, pendidikannya serta pemeliharaannya dari sesuatu yang membinasakannya atau yang membahayakannya.
Hukum hadhanah wajib karena anak yang tidak dipelihara akan terancam keselamatannya .Karena itu, hadhanah  hukumnya wajib sebagaimana juga wajibnya memberi nafkah kepadanya.
Hadhanah termasuk hak penguasaan, hanya saja hak tersebut lebih layak dimiliki oleh kaum wanita, karena wanita itu kasih sayangnya lebih besar dan lebih tekun mendidiknya, dan lebih sabar (daripada laki-laki) dalam mengasuh anak, serta lebih banyak bergaul dengan anak-anak. Biaya mengasuh anak harus ditanggung oleh ayah, karena termasuk kewajiban yang harus dicukupi seperti juga nafkah. Apabila laki-laki menceraikan istrinya maka si istri lebih berhak mengasuh anak hasil dari laki-laki tersebut.

2. Teks Hadis Dan Makna Serta Kandungan

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم جائثه امرأة فقالث : يا وسول الله ان ابني هذا كان بطني له وعاء وثدني له ثقاء وحجري له حواء وإن أباه طلقني وأراد أن نزعه مني فقالا لها ررسول الله  صلى الله عليه وسلم : أنت أحق به ما لم تنكحى (رواه داود والحاكم)
“Bahwa Rasulullah SAW, pernah didatangi oleh seorang perempuan ia berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya anak saya ini dahulu berada dalam kandungan saya, dan susu saya sebagai minumannya, serta pangkuan saya menjadi tempat ia mencari kash saying. Ayahnya telah mentalak saya dan sekarang ia ( ayahnya) ingin merebut anak ini dari saya. Rasulullah bersabda kepada perempuan itu: “Engkau lebih berhak daripada ayah anak itu selama engkau bbelum menikah lagi.”  (H.R. Abu Dawud dan Al-Hakim)
Al-Hakim mengatakan hadist tersebut shahih sanadnya. Kandungan dalam hadist tersebut menyatakan bahwa selama ibu belum menikah lagi maka ibu lebih berhak dan wajib mengasuh anaknya, walaupun suami telah mentalaknya.
Pada dasarnya ibu lebih baik mengasuh anaknya. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “ seorang ibu itu lebih  mashlahah  dibandingkan seorang ayah. Karena, sang ibu sangat hati-hati dan teliti terhadap anak kecil. Dia juga lebih tau hal-hal yang menyangkut makanannya. Ia menggendong dan menuntunnya dengan penuh kesabaran. Selain lebih mampu mengetahui kondisi anak ia juga lebih menyayanginya. Dalam hal ini, ibu lebih mengerti, lebih mampu, lebih sabar disbanding seorang ayah. Maka, seorang ibu ditetapkan sebagai orang yang lebih berhak mengasuh anak kecilnya yang belum baligh di dalam syariah”.
 Tetapi jika dengan menikah lagi dengan suami baru anaknya akan terlantar maka bapaknya harus mengasuhnya. Jika ia beristri lagi, maka biasanya anak tiri kurang diperhatikan istri baru, apalagi jika ia sudah punya anak kandung. Dalam keadaan begitu, alangkah baiknya tidak dibawa kerumah istri baru, tetapi diasuh familinya yang lain dan paling akhir diasuh dirumah penyantuni anak-anak, yang berdasarkan islam. Inilah dampak buruk akibat suami istri yang bercerai talak yang menjadikan anak sebagai korban. Oleh sebab itu Allah paling membenci perbuatan tersebut meskipunperkara tersebut masuk yang halal.
Ketentuan bahwa anak diasuh ibu bukan ayah hanyalah apabila anak itu masih kecil dan belum mumayiz. Kalau sudah mumayiz, maka anak diberi pilihan apakah ia ingin ikut ayahnya atau ibunya,lalu si anak berada dalam asuhan salah satu yang dipilihnya, baik anak tersebut laki-laki maupun perempuan.
Dasar adanya pilihan mumayiz adalah hadist Abu Huraira r.a:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم خير  غلاما بين  أبيه وأمه (رواه إبن ماجة) “Bahwa Rasulullah SAW member pilihan kepada anak yang sudah mumayiz untuk ikut ayahnya atau ibunya” (H.R. Ibnu Majah)
عن أبيؤهريرة رضى الله تعالى أن امرأة قالت : يا رسول الله صلى الله عليه وسلم ان زوجى يريد ان يذهب بابني وقد نفعني وسقاني من بئر أبي عنبة فجاء زوجها فقال النبي صلى الله عليه وسلم يا غلاء هذا أبوك وهذا أمك  فخذ بيد ابهما  شئت  فأخذ بيده أمه فانطلقت به (رواه أحمد والأربعة وصححه الترمذي)
“Dari Abu Hurairah r.a. berkata : sesungguhnya seorang wanita berkata : ya Rasulullah sesungguhnya suamiku hendak pergi membawa anakku, padahal ia telah memberi manfaat bagi saya, ia sudah dapat mengambil air minum untukku dari sumur Abu Inabah. Setelah suaminya itu datang , lalu Nabi SAW bersabda kepada anak itu: Wahai anak, ini ayahmi, ini ibumu, peganglah mana diantara keduanya yang kamu sukai. Lalu anak itu memegang tangan ibunya. Lalu wanita itu berangkat pergi bersama anaknya” . (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Al-Arba’ah . hadist ini dinilai shahih At-Tirmidzi dan Ibnul Qathan) .
Hadist itu menjadi dalil bahwa anak kecil itu setelah mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, maka dia boleh memilih antara ibunya atau ayahnya. Namun sesungguhnya pemilihan dan undian tidak boleh terjadi kecuali bisa terjadi kemaslahatan bagi anak dengan cara-cara tersebut. Seandainya ibu lebih mampu memelihara anaknya daripada ayahnya atau dia lebih bertanggung jawab terhadap anak itu daripada ayahnya, maka ibu lebih berhak daripada ayahnya. Tidak boleh diperhatikan undian dan pilihan anak dalam hal demikian ini karena sesungguhnya anak itu masih lemah akalnya, dia masih dipengaruhi oleh keadaan malas dan kesukaannya bermain-main. Apabila dia memilih orang yang membantunya atas hal itu , maka tidak perlu diperhatikan pilihannya itu dan dia tetap berada pada orang yang lebih berguna baginya, terutama dalam beragama. Dan syariat tidak mengandung kemungkinan selain ini.

3. Urutan Hak Asuh Bagi Anak Dalam Ajaran Islam Sebagai Berikut : 

a. Yang paling berhak mengasuh anak adalah ibunya. Imam Ibnu Qudhamah mengatakan, “ Jika pasangan suami istri berpisah dan mereka memiliki seorang anak, atau keluarga yang idiot, maka ibunyalah yang paling berhak mengasuh, jika telah terpenuhi syarat-syaratnya, baik anak tersebut laki-laki maupn perempuan.pendapat ini sama dengan pendapat Imam Malik dan yang lain. Dan tidak ada seorangpun yang berselisih.
b. Jika seorang ibu telah menkah dengan laki-laki lain, maka hak asuh anaknya dipindahkan kepada yang lain, dan hak asuhnya telah gugur berdasarkan sabda nabi SAW.
c. Jika hak asuh seorang ibu telah gugur, maka hak pengasuhan anak dipindahkan kepada ibunya istri atau nenek dari anak tersebut.
d. Setelah hak asuh ibu dan nenek tiada, maka hak tersebut bisa diambil alih oleh ayah dari anak tersebut. Karena bagaimanapun juga dari dialah anak tersebut tertanam. Selain itu seorang ayah juga memiliki kedekatan pada sang anak lebih dari yang lainnya selain ibu dan nenek.
e. Jika hak ibu, nenek, dan ayah untuk mengasuh anak tersebut telah tiada maka, hak tersebut diberikan kepada ibu ayahnya yaitu nenek dari pihak ayah atau keluarga terdekat darinya. Karena mereka memiliki hubungan kerabat dengan anak tersebut daripada kakek. Sebab bagaimanapun seorang wanita satu sama lain memiliki kesamaan dalam hal ini. Karena itu, seorang ibu lebih utama dibanding ayah, dan wanita lebih utama  dalam masalah pengasuhan anak dibanding laki-laki.
f. Setelah nenek dari ayah anak tersebut tidak memiliki hak untuk mengasuh cucunya, maka hak tersebut berpindah kepada kakek dari ayahnya . atau yang terdekat dari ayahnya.
g. Setelah itu Hak asuh berpindah kepada ibunya kakek yang dianggap lebih dekat dengannya.
h. Setelah ibu dari kakek maka yang seterusnya adalah saudara wanita dari anak tersebut, karena mereka adalah ganti dari orang tuanya, atau ibunya.
i. Setelah saudara wanita, hak asuh berpindah kepada bibi dari pihak ibu. Karena bibi dari ibu setatusnya sama dengan ibu itu sendiri.
j. Setelah bibi dari pihak ibu hak tersebut dipindahkan kepada bibi pihak ayah,sebab mempunyai hubungan dekat dengan ayah dari anak tersbut yang memiliki hak asuh dari keluarga ibu.
k. Setelah itu pindah ke pihak anak wanita dari saudara laki-laki. Kemudian anak wanita dari saudara wanitanya. Kemudian, anak wanita dari pihak paman. Kemudian dari pihak ayah, baru kemudian anak wanitanya bibi dari pihak sang ayah. Kemudian pamannya, lalu anak pamannya.

4. Syarat –syarat mengasuh anak
a. Berakal
b. Merdeka (bukan budak)
c. Beragama islam
d. Menjauhkan diri dari hal yang tidak baik
e. Dapat diprcaya
f. Ibu tidak menikah lagi
g. Menetap (tidak musafir)

5. Hadanah Menurut Kompilasi Hukum Islam

Dalam Kompilasi Hukum Islam yang merupakan bagian upaya dalam rangka mencari pola fikih yang bersifat khas Indonesia atau fikih yang bersifat kontekstual, masalah hadanah diatur dalam Pasal 105 dan Pasal 156 :
Pasal 105
Dalam hal terjadinya perceraian :
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;
c. Biaya pemeliharaan ditanggung ayahnya.
Pasal 156
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
a. Anak yang belum mumayiz berhak mendapatkan hadanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh :
1. Wanita-wanita dalam garis lurus dari ibu;
2. ayah;
3. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
4. saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
5. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu;wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
b. Anak yang sudah mumayiz berhak memilih untuk mendapatkan hadanah dari ayah atau ibunya…;
Jadi menurut Kompilasi Hukum Islam, anak yang belum mumayiz atau belum berumur 12 tahun mendapat hadanah dari ibunya dan setelah mumayiz, anak dapat memilih untuk mendapatkan hadanah dari ayah atau ibunya.
Akhir masa Pengasuhan:Jika anak sudah tidak memerlukan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan pribadinya sehari-hari dan sudah mencapai usiatamyiz, Maka masa pengasuhan telah berakhir. Setelah berakhir masa pengasuhan, si anak tersebut diperbolehkan memilihuntuk menetap tinggal bersama salah satu dari kedua orangtuanya bila keduaorangtuanya bercerai; atau sesuai dengan keputusan pengadilan.
Imam Syafi’i berpendapat, bahwa pengurusan anak tidak ada batasan yang jelas kapan berakhirnya. Namun, bila ia telah dewasa dipersilahkan baginya untuk memilih kepadaibu atau bapakknhya. Meskipun pilihan jatuh pada ibunya, bapakknya tetap yangmenanggung beban pembiayaan, sesuai dengan ketentuan pengadilan.

C. Kesimpulan
Kata hadhanah adalah bentuk mashdar dari kata al-hadhnu, atau mengasuh atau memelihara anak, dan menurut istilah adalah menjaga anak yang belum bisa mengatur dan merawat dirinya sendiri, serta belum mampu menjaga dirinya dari hal-hal yang dapat membahayakan dirinya. Hukum hadhanah inihanya dilaksanakan ketika pasangan suami istri bercerai dan memiliki anak yang belum cukup umur untuk berpisah dari ibunya. Hal ini diseabkan karena sianak masih perlu penjagaan, pengasuhan, pendidikan, perawatan dan melakukan berbagai hal demi kemaslahatannya.
Syara–syarat mengasuh anak: Berakal, Merdeka (bukan budak), Beragama islam, Menjauhkan diri dari hal yang tidak baik, Dapat dipercaya, Ibu tidak menikah lagi dan Menetap (tidak musafir).
Dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) hadhanah diatur pada pasal 105 dan 156. Jadi menurut Kompilasi Hukum Islam, anak yang belum mumayiz atau belum berumur 12 tahun mendapat hadanah dari ibunya dan setelah mumayiz, anak dapat memilih untuk mendapatkan hadanah dari ayah atau ibunya.
Imam Syafi’i berpendapat, bahwa pengurusan anak tidak ada batasan yang jelas kapan berakhirnya. Namun, bila ia telah dewasa dipersilahkan baginya untuk memilih kepadaibu atau bapakknhya. Meskipun pilihan jatuh pada ibunya, bapakknya tetap yangmenanggung beban pembiayaan, sesuai dengan ketentuan pengadilan.



DAFTAR PUSTAKA

Al-fauzan Saleh.,Fiqh Sehari-hari, Jakarta: Gema Insani, 2006
Al-Husaini Al-imam Taqiyuddin Abu Bakar: Terjemahan Kifayatul Akhyar 2, Surabaya:PT. Bina Ilmu, 2011
As- Shana’I ,Subulussalam III , Surabaya: Al-ikhlas, 1995
az-Zuhaili Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu 10, Jakarta: Gema Insani, 2011
http://www.scribd.com/doc/46029090/FIKIH-Lks-SmII-25-Des-2010#scribd
Masyhur Kahar: Terjemahan Bulughul Maram 2, Jakarta: PT. Rineka Cipta 2005






0 Komentar untuk "[MAKALAH] HADITS HUKUM TENTANG HADHANAH (HAK PEMELIHARAAN ANAK)"

Back To Top