Ngaji dan Ngajeni Gus Dur

Ngaji dan Ngajeni Gus Dur


Selayang Pandang

KH. Abdurrohman Wahid, atau yang dikenal degan Gus Dur ini sudah banyak diperbincangkan oleh banyak orang, baik oleh para kaum akademisi, ulama, santri dan orang abangan sekalipun. Bahkan tak jarang tokoh-tokoh lintas agama juga turut berpartisipasi untuk membahas dan membicarakan Gus Dur, atau setidaknya untuk membincangkan Gus Dur ngalor-ngidul.

Banyak hal yang dapat dibicarakan mengenai guru bangsa yang satu ini mengingat beliau sepertinya sangat menguasai berbagai disiplin keilmuan. Mulai dari politik, sastra, seni, sosial, budaya, filsafat dan tasawuf serta ilmu-ilmu agama yang sangat komprehensif  sebab pada dasarnya Ia lahir dan besar dalam nuansa pesantren yang begitu kental.

Pria yang memiliki nama kecil Abdurrahman ad-Dakhil ini adalah cucu Hadrotus Syeh Hsyim Asy’ari, tokoh pendiri NU sekaligus Ulama besar  yang dianggap sebagai guru para Ulama yang ada di pulau Jawa. Ayahnya bernama KH. Abdul Wahid Hasyim dan Ibunya bernama Nyai Solihah, putri dari KH. Bisri Syamsyuri, partner Kiai Hasyim dalam mendirikan NU.

Sejak kecil Gus Dur sudah menunjukkan bakat-bakat kecerdasan dan kegandrungannya dalam dunia intelektual. Saat Ia mash balita, Ayahnya, Kiai Wahid, memberikan dua hal yang sangat berbanding terbalik, yakni buku dan mainan. Namun, dasar memang anak cerdas buku yang lebih menarik hatinya. Dibuka-buka dan remas-remas buku itu sebagai tanda gemarnya pada buku dan pengetahuan. Bahkan saat sang Ayahanda membaca buku ataupun kitab-kitab berbahasa arab, AD-Dakhil selalu bertanya buku apa yang Ayaha baca. Ia juga sering merengek agar sang Ayah mau membacakan dan menjelaskan isi buku padanya. Dengan penuh kebanggaan dan kesabaran, sang Ayah pun membacakan dan menjelaskan buku-buku yang Ia baca.

Saat dewasa kegemarannya membaca buku semakin menjadi-jadi. Sampai-sampai Ia harus mengenakan kacamata berlensa tebal untuk membantu penglihatannya. Berbagai jenis buku telah Ia habiskan. Mulai buku-buku agama, novel, sastra, filsafat, tasawwuf, yang berbahasa Indonesia, Inggris, Arab maupun Belanda. Hingga saat Ia masuk pada usia tua matanya benar-benar sudak tidak mampu melihat dunia.

Humor Cerdas Ala Gus Dur


Ia adalah sosok yang cerdas. Cerdas dalam menganalisa suatu masalah dan melontarkan komentar soal masalah tersebut. Bahkan Ia juga cerdas melontarkan humor dan guyonannya yang jauh dari pencederaan terhadap perasaan orang lain. Terkadang Ia gunakan guyonannya untuk menyindir orang. Namun tetap saja orang yang tersindir tidak merasa benci ataupun marah.

Gus Dur pernah bercerita tentang seorag santri Kiai Fatah, Paman Gus Dur di Jombang. Pada suatu malam saat mati lampu Kiai Fatah sedang berbincang dengan seorang santri senior di teras rumahnya. Dalam kondisi gelap tersebut Kiai Fatah berbincang dengan gaya khas kiai tradisional, merokok. Tiba-tiba lewatlah seorang santri yang lebih junior didepan dua orang yang sedang jagongan santai tersebut. 

Tanpa basa basi, santri junior tersebut langsung nerocos dengan berkata “sak sedotan, kang”  dengan langsung meraih rokok yang masih ada di jari tangan Kiai Fatah. Akan tetapi setelah si santri nyedot rokok tersebut, nyala api begitu terang. Seketika  wajah Kiai Fatah langsung muncul di hadapan si santri sial tersebut. Tanpa banyak kata, si santri langsung lari dengan sarung yang sedikit terangkat ke atas. Setelah lari ekspres santri tersebut Kiai Fatah hanya bisa meratap dan berteriak “Kang..!! rokokku ojo digowo!!”

Gus Dur; Sufi Masa Kini


Sufi atau ahli tasawwuf adalah seorang yang berusaha membersihkan hati dengan berbagaia jalan dengan tujuan mencapai tingkat spiritual tingkat tinggi. Berbicara soal tasawwuf, banyak tokoh-tokoh yang mendalami jalan suci ini terutama dari kalangan agamawan khususnya agamawan muslim. Sebagai cucu dari ulama karismatik dan anak dari ulama brilian, Gus Dur sepertinya juga tertular virus suci tersebut.

Dalam hari-harinya, Gus Dur ad-Dakhil selalu menghiasi dirinya dengan penguatan spiritual selain yang biasa Ia lakukan yakni penguatan intelaktual. Minatnya pada dunia spiritual ini muncul saat Ia nyantri pada Kiai Chudlori di pesantren Tegalrejo Magelang atas rekomendasi dari kakeknya, Kiai Bisri. Sebagaimana biasanya, yakni kegemarannya pada buku dan kitab, ad-Dakhil muda sangat percaya diri menuju Tegalrejo dengan membawa hampir semua buku bacaannya dan hanya sedikit pakaiannya yang dibawa. Ia lebih memilih memenuhi isi tasnya dengan buku dari pada pakaian. Saat Ia tiba di pelataran pesantren, ada salah seorang santri yang bertanya padanya. Mau kemana dan ada perlu apa. Dan ia pun menjawab ingin sowan dengan Kiai Chudlori. Dengan sopan sang santri pun mengantarnya ke ndalem Kiai Chudlori. Saat sampai di depan pintu, Kiai pun menemuinya dan dengan mengembangkan senyum, beliau menegur ad-Dakhil “lho, wes tekan tho?”

Pertamuan pertamanya dengan Kiai Chudlori saat itu langsung meninggalkan kesan dalam hatinya. Ia terus bertanya, siapakah sebernarnya Kiai Chudlori? Bagaiana beliau bisa tahu kalau ad-Dakhil akan nyantri di sini. 

Rasa penasarannya terobati ketika sang Kiai mengajaknya berziarah ke makam seorang wali. Bahkan beberapa kali. Sehingga kecintaannya pada para wali sebagai orang suci berkembang dan semakin besar. Sampai-sampai Ia juga sering berziarah di malam hari sendirian. Sesekali Ia juga mengajak kawan santrinya berziarah. Kecintaany berziarah mengajarinya untuk lebih menekuni dunia spiritual, dunia yang mengantarkannya pada kesempurnaan seorang hamba. Dunia yang menenggelamkannya pada hikmah dan kebijaksanaan. Dunia sufi.

Akan tetapi ada sedikit yang berbeda dengan implementasi tasawuf Gus Dur. Jika tokoh sufi seperti Abu Hasan al-Sadzili memakai teori zuhud, Abdul Qodir al-Jaelani cendrung dzikir, Hussein bin Mansur al-Hallaj menggunakan wahdatul wujud seperti halnya tokoh sufi Nuantara, Syeh Siti Jenar, Gus Dur sepertinya lebih menggunakan pendekatan sosial untuk mencurahkan kerinduannya pada sang pencipta.

Ia sepertinya lebih tertarik mengadukan masalah-masalah yang dihadapi oleh ummatnya kepada Allah. Implementasi tasawwuf seperti ini mirip dengan gaya tasawwuf Wali Songo yang juga mempunyai misi menyebarkan agama Islam. Teori semacam ini berusaha menyeimbangkan harmonisasi hubungan antara manusia dengan Tuhannya dan hubungan makhluk dengan sesama manusia. Dalam bahasa agama dikenal dengan istilah hablun minallah dan hablun minannas.

Ditulis oleh sahabat saya Iga Kurniawan yang bentar lagi wisuda :)
*Daripada ngga ada yang baca, tak upload di sini ya Gaps hh
Tag : agama, ARTIKEL
0 Komentar untuk "Ngaji dan Ngajeni Gus Dur"

Back To Top